Bila melihat
beberapa ayat dalam Al-Qur’an, nampak ada beberapa ayat yang cenderung kepada
anjuran untuk mengatur suatu negara ( ummat ) dalam sistem demokrasi, yaitu
sebuah sistem pemerintahan yang mengakui hak segenap anggota masyarakat untuk
mempengaruhi keputusan politik, baik langsung atau tidak langsung. Dan dalam
pengambilan keputusan itu dasarnya adalah musyawarah untuk mencapai mupakat.
Berikut ini akan
diuraikan konsep demokrasi menurut Al-Qur’an :
A.
Musyawarah Sebagai Dasar Demokrasi
Surah Ali-imran : 158 – 159
Artinya :
“Maka berkat
rahmat Allahlah engkau (muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk
mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
engkau membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sungguh, Allah
mencintai orang yang bertakwa.”(Q.S. Ali-imran : 159 )
Ayat diatas dari
segi redaksional ditujukan kepada nabi Muhammad SAW. Agar memusyawarahkan
persoalan-persoalan tertentu dengan para sahabat atau anggota masyarakatnya.
Tetapi ayat ini juga merupakan petunjuk bagi setiap muslim, khususnya bagi
setiap pemimpin, agar bermusyawarah dengan anggota-anggotanya.
Diawal surah tadi
disebutkan bahwa karena rahmat Allohlah kamu bersikap lemah lembut terhadap
mereka. Unggkapan ini mengisaratkan bahwa untuk bisa melaksanakan musyawarah
dengan baik, baik pihak yang ditunjuk sebagai ketua dalam acara musyawarah,
maupun pihak yang menjadi anggoata atau peserta, harus bersikap lemah lembut,
mau menghargai dan menghormati hak dan kewajiban oarang lain, tidak ingin
menang sendiri, dan tidak memaksakan kehendak sendiri untuk orang lain.
Bila terjadi
silang pendapat yang menjadikan orang lain tersinggung atau sakit hati, semua
pihak harus saling memaafkan.
Suasana seperti
ini harus bisa dikondisikan dalam setiap mengambil keputusan bersama, dan
insyaAllah musyawarah akan berjalan dengan baik, yang akhirnya akan
menghasilkan keputusan-keputusan yang bermanfaat bagi semua pihak.
Itulah petunjuk
Al-Qur’an bagi pelaksanaan musyawarah sebagai dasar dalam pengambilan keputusan
mengenai urusan keduniaan atau muamalah dan menyangkut kepentingan orang
banyak, seperti membangun masjid, madrasah, dan jalan umum, memilih ketua RT,
RW, atau kepala Desa. Semua itu harus dilakukan dengan cara musyawarah sesuai
dengan petunjuk Al-Qur’an.
Sedangkan hal-hal
yang perlu dimusyawarahkan adalah hal-hal yang terkait dengan urusan mu’amalah,
sementara masalah aqidah dan ibadah sudah jelas petunjuknya baik dari Al-Qur’an
maupun dari Hadist Nabi.
Mengenai urusan
dunia, Rasulullah SAW. Memberi kebebasan kepada ummatnya untuk membicarkan
bersama apa yang terbaik. Hal ini berdasarkan hadist yaitu :
Artinya :
“Kalian lebih mengetahui persoalan dunia kalian.”
Dan dalam hadist yang lain
Nabi bersabda :
Artinya :
“yang berkaitan dengan urusan agama kalian, maka kepadaku
rujukannya, dan yang berkaitan dengan urusan dunia kalian, maka kalian lebih
mengetahuinya.”
Dari kedua hadist
diatas tadi jelas bahwa hal-hal yang perlu dimusyawarahkan antara ummat itu
adalah yang terkait dengan masalah keduniaan, bukan masala aqidah dan ibadah.
Pelajaran yang
dapat diambil dari penjelasan di atas adalah sebagai berikut :
-
Seseorang yang dipercaya menjadi
pemimpin dalam menghadapi rakyatnya harus bersikap lemah lembut.
-
Seorang pemimpin juga harus lapang
dada dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi dilingkungan rakyatnya.
-
Dalam memecahkan segala urusan yang
terkait dengan kepentingan orang banyak, seorang pemimpin tidak boleh mengambil
keputusan sendiri, tetapi harus meminta pendapat orang lain dengan jalan
musyawarah.
-
Hal-hal yang bisa dimusyawarahkan
hanya hal-hal yang terkait dengan masalah mu’amalah, bukan masalah aqidah dan
ibadah.
B.
Musyawarah Untuk Hal-Hal Yang Baik.
Artinya :
“Dan (bagi) orang-oarang yang
menerima (mematuhi) seruan tuhan dan melaksanakan shalat, sedang urusan mereka
( diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mengimfakkan sebagian dari
rizki yang kami beri kepada mereka. (Q.S.Asy-syura’:38)
Ayat ini turun sebagai ujian kepada
kelompok muslim madinah (Anshar) yang bersedia membela Nabi Muhammad SAW. Dan
menyepakati hal tersebut melalui musyawarah yang mereka laksanakan dirumah Abu
Ayyub Al-Anshari. Namun demikian, ayat ini juga berlaku umum, mencakup setiap
kelompok yang melakukan musyawarah.
Bila kita membuka sejarah islam
khususnya sejarah empat khalifah Rasulullah SAW; yaitu Abu Bakar, Umar bin
khattab, usman bin-affan, Ali bin Abi-thalib dapat kita ketahui mulai dari cara
pengangkatan masing-masing dari mereka sampai dengan cara mereka memimpin, dan
menyelesaikan urusan mereka semua dilaksanakan dengan musyawarah.
Dalam melakukan musyawarah, tentu ada
beberapa perinsip yang harus dipedomani oleh para peserta musyawarah, antara
lain :
1. Tidak
boleh melakukan musyawarah unutk hal-hal yang dilarang agama. Larangan ini
dapat dipahami dari isi ayat 12 surah Al-Mumtahanah sebagai berikut :
Artinya :
“Wahai Nabi apabila perempuan-prempuan datang kepadamu untuk
mengadakan baiat ( janji setia), bahwa mereka tidak akan mempersekutukan
sesuatu apapun dengan allah; tidak akan mencuri, tidak akan berjina, tidak akan
membunuh anak-anaknya, tidak akan membuat dusta yang mereka ada-adakan antara
tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik,
maka terimalah janji setia mereka dan
mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada allah. Sungguh, Allah maha pengampun,
maha penyayang.(Q.S.AL-Mumtahanah: 12)
2. Tidak
boleh melakukan musyawarah untuk mengangkat seorang pemimpin yang tidak
beragama islam, larangan ini dapat dipahami dari isi ayat 51 surah al-maidah
sebagai berikut :
artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu menjadikan
orang yahudi dan nasrani sebagai teman setiamu; mereka satu sama lain saling
melindungi, barang siapa diantara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka
sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim. ( Q.S.AL-Maidah:51)
-
Allah memuji orang mu’min yang
melakukan musyawarah dalam menyelesaikan urusannya bersama orang lain.
-
Empat khalifah yang menggantikan
Rasulullah secara bergantian, dipilih dan diangkat secara demokratis melalui
musyawarah.
-
Musyawarah tidak boleh dilakukan
untuk menyepakati hal-hal yang tidak dibolehkan oleh syara’ (agama)
-
Musyawarah tidak boleh dilakukan
untuk menyepakati pengangkatan seorang pemimpin yang bukan orang muslim.Kesimpulan
-
Seorang yang dipercaya menjadi
pemimpin dalam menghadapi rakyatnya garus bersikap lemah lembut.
-
Seorang pemimpin juga harus lapang
dada dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi di lingkungan rakyatnya.
-
Dlam memecahkan segala urusan yang
terkait dengan kepentingan orang banyak, seorang pemimpin tidak boleh mengambil
keputusan sendiri, tetapi harus meminta pendapat orang lain dengan jalan
musyawarah.
-
Musyawarah tidak boleh dilakukan
untuk menyepakati hal-hal yang tidak dibolehkan oleh syara’ (agama)
-
Musyawarah tidak boleh dilakukan
untuk menyepakati pengangkatan seorang pemimpin yang bukan muslim.
Sumber: http://man-sejarah.blogspot.co.id/2013/01/memahami-demokrasi-menurut-ayat-ayat-al_6.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar